Senin, 19 Mei 2014

etika ber sms dengan dosen


apakah kalian pernah mengirim sms pada dosen dan tidak dibalas? sudah saatnya, anda saya beritahu, mengapa sms itu tidak dibalas. tapi sebelumnya, coba perhatikan beberapa petikan sms ini :


tipe tanpa identitas :
“Bu, ibu ada di mana sekarang? Hari ini ke kampus gak bu?”
“Ibu ada di mana???? Ditunggu di kelas xxx sekarang”
“Ibu posisi dimana? saya sudah di kampus dari tadi”
“bu tenia,, untuk materi kuliah xxx ada dimana ?”
apa dampaknya jika anda tidak memberitahu identitas anda? tengoklah percakapan dibawah ini:
mhs :”ibu, saya mau ketemu”
dosen :”maaf, ini siapa ya?”
mhs :”saya budi”
dosen :”budi yang mana ya?”
mhs :”saya budi mahasiswa ibu”
dosen :”oooh…., budi winarno?”
mhs :”bukan…, budi setiawan, mahasiswa IF A”
dosen :”baik mas budi, kapan mau ketemu?”
mhs : “nanti siang bu”
dosen : “baik mas, silakan datang, nanti siang saya sedang kosong”
bayangkan, berapa banyak waktu dan pulsa terbuang hanya untuk melayani sms seperti ini. jika anda hanya menuliskan maksud anda “ibu, saya mau ketemu”, dosen anda tentu bingung ini sms dari siapa? tukang kredit? petugas asuransi? sales buku? kolega bisnis? atau mahasiswa?
tipe memerintah :
“Bu saya … dari kelas … Boleh minta slide kuliah gak bu? Kirimin via gmail aja ya bu, kita butuh buat belajar, makasih…”
“Bu. Nilai mata kuliah XXX saya belum keluar di simak. Dosennya sudah di hubungi bu ten belum ? dihubungi saya tidak respon buu..”
“kalo misal nilainya keluar terus yang nginput bu tenia bisa tidak bu”
“bu…., tolong dikoreksi ya bu, saya pengen cepat lulus”
dosen pada umumnya orang yang usianya lebih tua dari anda, jadi, jangan memerintahkannya untuk melakukan sesuatu seperti anda ngobrol dengan teman anda. anda bisa memintanya dengan gaya yang lebih sopan. misalkan : saya membutuhkan slide kuliah ibu untuk bahan belajar, dimana saya bisa mendapatkannya bu?
tipe alay :
“SoRe bu..ApA be5ok 4da kul!ah Ga’ ea?”
“Oowh gitchu ya buk…., mu u cih bingits ya buk….”
bagi mahasiswa, tulisan 4L4y mungkin lucu dan menarik, tapi bagi dosen, tentu butuh waktu khusus untuk mencerna tulisan anda.
tipe sok penting
“Bu, bimbingannya ndak jadi hari ini karena saya ada acara keluar. Besok saja jam 9. Trims”
“Bu, ini saya masih ngeprint, tunggu yaa…”
“Wah pagi saya nggak bisa e bu, Sore aja ya bu?”
bagi mahasiswa, jika waktu yang dijanjikan oleh dosen bertabrakan dengan acara lain, anda bisa membalasnya dengan pilihan bahasa lain, seperti : “maaf bu, untuk jam 2 saya masih ada di luar kota, bagaimana jika jam 4 sore?”
jika ada diantara kalian yang menggunakan bahasa sms tersebut diatas, dan kemungkinan besar tidak dibalas, maka akan saya kuak, mengapa bisa demikian. dosen yang tidak membalas sms anda, kemungkinan ada beberapa sebab :

1. waktu yang kurang tepat

dosen pasti punya banyak waktu sibuk, diantaranya saat sedang mengajar, meeting ataupun sedang membimbing. jadi, pastikan anda tidak meng-sms di saat-saat jam sibuk. atau, bisa jadi anda terlalu pagi atau terlalu malam mengirim sms.
2. cara atau etika kita kurang baik.
tipe-tipe sms diatas tentunya merupakan contoh sms yang kurang baik. jika anda mengirim sms dengan 4 tipe diatas, dan tidak dibalas, maka, bisa dipastikan dosen anda sedang “empet” sama anda. :D
3. HP mati, low batt atau pulsa habis
meskipun anda sudah berbahasa sopan, dikirim pada saat yang tepat, tapi HP dosen lowbatt atau habis pulsa, maka sms anda tidak akan dibalas. tapi saya yakin, jika dosen anda baik, dan sms anda sudah baik, setelah terisi pulsa/energy, dia akan segera membalas sms anda.

mengapa?
mengapa kita harus sopan?
sopan santun dan etika, seringkali tidak pernah tertulis di buku pegangan mata kuliah, dan ST3 Telkom adalah salah satu perguruan tinggi yang mengedepankan karakter yang baik, bagi dosen maupun mahasiswanya. Kelak, anda akan punya atasan, punya mertua, kolega bisnis, dan sopan santun menjadi syarat mutlak berinteraksi. anda akan lebih banyak teman dan disukai orang tua. (ingat lagu peramah dan sopan ciptaan Pak Dal….:D )
bagaimana sms yang baik?
1. dimulai dengan sapaan : assalamu’alaikum wr wb atau assalamu’alaikum (jangan disingkat : ass, mekum, askum, karena hakikatnya salam adalah doa, jadi jangan disingkat. dulu, saya pun pernah menggunakan singkatan “ass” untuk menunjukkan salam, tapi kemudian saya ditegur teman saya, bahwa “ass” kemungkinan akan diartikan “pantat” oleh orang yang menerima pesan), atau selamat pagi, siang, sore…..
2. sebutkan identitas anda : dosen anda bukanlah phone book berjalan. dia tidak akan menyimpan semua nomor telepon mahasiswa di ponselnya. keterbatasan memory kemungkinan bisa jadi penyebabnya. jadi, sebaiknya anda sebutkan identitas anda. misalkan : saya irma suryani, kelas IF B…..
3. tuliskan keperluan anda dengan singkat dan jelas : jangan terlalu bertele-tele, singkat tapi tetap memperhatikan kesopanan. misalkan : hari ini saya ingin bimbingan skripsi, apakah ibu ada waktu?
4. ucapkan maaf untuk menunjukkan kerendahan hati anda
5. akhiri dengan ucapan terima kasih
Misalkan begini :
Selamat pagi bu, saya ika rahmawati, kelas IF B, maaf bu, saya mau menanyakan apakah besok ibu ada waktu untuk bimbingan skripsi? terima kasih.
SMS diatas panjangnya 143 karakter, sehingga menurut saya tidak terlalu kepanjangan, juga tidak terlalu pendek, tapi dosen mengetahui maksud anda.
“SMS adalah pesan singkat, kira-kira panjangnya 160 karakter. SMS bukan telegram, juga bukan email, jadi, tuliskan semuanya dalam pesan singkat, tapi tetap menjaga kesopanan”
demikian sekilas info tentang etika ber sms dengan dosen. mudah2an sukses terus kuliahnya…., tetap semangat!

diambil dari http://tenia.dosen.st3telkom.ac.id/2014/05/16/sms-mahasiswa-sudah-saatnya-anda-tahu/#comment-150

Jumat, 16 Mei 2014

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KEBIDANAN DI INDONESIA

Perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan nasional maupun internasional terjadi begitu cepat. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan merupakan hal yang penting untuk dipelajari dan dipahami oleh petugas kesehatan khususnya bidan yang bertugas sebagai bidan pendidik maupun bidan di pelayanan

Salah satu faktor yang menyebabkan terus berkembangnya pelayanan dan pendidikan kebidanan adalah masih tingginya mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin, khususnya di negara berkembang dan di negara miskin yaitu sekitar 25-50%. Mengingat hal diatas, maka penting bagi bidan untuk mengetahui sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan karena bidan sebagai tenaga terdepan dan utama dalam pelayanan kesehatan ibu dan bayi diberbagai catatan pelayanan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal dan bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan serta meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.

PELOPOR YANG BEKERJA SAMA DALAM PERKEMBANGAN KEBIDANAN HIPOKRATES DARI YUNANI THN 460 – 370 SM
Disebut Bapak Pengobatan
1. Menaruh perhatian terhadap kebidanan / keperawatan dan pengobatan
2. Wanita yang bersalin dan nifas mendapatkan pertolongan dan pelayanan selayaknya.

SORANUS THN 98-138 SM BERASAL DARI EFESUS/TURKI Disebut Bapak Kebidanan 
1. Berpendapat bahwa seorang ibu yang telah melahirkan tidak takut akan hantu atau setan dan menjauhkan ketahyulan
2. Kemudian diteruskan oleh MOSCION bekas muridnya : meneruskan usahakan dan menulis buku pelajaran bagi bidan-bidan yang berjudul : KATEKISMUS bagi bidan-bidan Roma Pengetahuan bidan semakin maju.

Sejarah Perkembangan Pelayanan Dan Pendidikan Kebidanan Di Indonesia
Perkembangan pendidikan dan pelayanan kebidanan di Indonesia tidak terbatas dari masa penjajahan Belanda, era kemerdekaan, politik/kebijakan pemerintah dalam pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan, kebutuhan masyarakat serta kemajuan ilmu dan teknologi.

Perkembangan Pelayanan Kebidanan
Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktik profesi bidan dalam system pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan anak. Layanan kebidanan yang tepat akan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu dan bayinya. Layanan kebidanan/oleh bidan dapat dibedakan meliputi :
a. Layanan kebidanan primer yaitu layanan yang diberikan sepenuhnya atas tanggung jawab bidan.
b. Layanan kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim secara bersama-sama dengan profesi lain dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.
c. Layanan kebidanan rujukan yaitu merupakan pengalihan tanggung jawab layanan oleh bidan kepada system layanan yang lebih tinggi atau yang lebih kompeten ataupun pengambil alihan tanggung jawab layanan/menerima rujukan dari penolong persalinan lainnya seperti rujukan.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 (zaman Gubernur Jenderal Hendrik William Deandels) para dukun dilatih dalam pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan.

Adapun pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (Di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto). Saat itu ilmu kebidanan belum merupakan pelajaran, baru tahun 1889 oleh Straat, Obstetrikus Austria dan Masland, Ilmu kebidanan diberikan sukarela. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda (dr. W. Bosch). Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula dikota-kota besar lain di nusantara. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).

Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga berencana.

Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa.

Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk. Pembinaan dukun bayi. Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Hal tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.

Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada reproduktive health (kesehatan reproduksi), memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi :
1. Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus
2. Family Planning.
3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4. Kesehatan reproduksi remaja
5. Kesehatan reproduksi pada orang tua.

Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 

Permenkes tersebut dimulai dari 
:
a. Permenkes No. 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
b. Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989 wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus ditetapkan bila bidan meklaksanakan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter. Pelaksanaan dari Permenkes ini, bidan dalam melaksanakan praktek perorangan di bawah pengawasan dokter.
c. Permenkes No. 572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan praktek bidan. Bidan dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :
- Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak.
- Pelayanan Keluarga Berencana
- Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
d. Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan revisi dari Permenkes No. 572/VI/1996

Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Kepmenkes No. 900/2002 tidaklah mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri.

Perkembangan Pendidikan Kebidanan
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dalam pendidikan ini adalah, pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnyah peserta didik yang disebabkan karena adaanya larangan atatupun pembatasan bagi wanita untuk keluaran rumah.
Pada tahunan 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi di rumah sakit militer di batavia dan pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita indo dibuka di Makasar. Luluasan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).

Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang luluas dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.

Pada tahun 1935-1938 pemerintah Kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. DI tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan Kebidanan selama tiga tahun tersebut Bidan Kelas Satu (Vreodrouweerste Klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri) di sebut Bidan Kelas Dua (Vreodrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.

Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.

Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967 KTB ditutup (discountinued).

Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.

Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata diseluruh propinsi. Pada tahun 1974 mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multi purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.

Pada tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup secara wajar.

Tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan Diploma I Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan SPR dan SPK. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.

Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.

Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinik, sebagai bidan tapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar. Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang bidan juga kurang.

Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan Bidan A. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.
Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu : Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semester.

Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (Distance learning) di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994

Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB. DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah. Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di Propinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 Propinsi, pada tahap II (1996-1997) dilaksanakan di 16 propinsi dan pada tahap III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi. Secara kumulatif pada tahap I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus.

Pada tahap IV (1998-1999) DJJ dilaksanakan di 26 propinsi dengan jumlah tiap propinsinya adalah 60 orang, kecuali Propinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40 orang dan Propinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta belum diketahui berapa jumlah yang lulus karena laporan belum masuk. Selain pelatihan DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawat daruratan maternal dan neonatal (LSS = Life Saving Skill) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Koordinatornya adalah Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas.

Sedang pelaksanaannya adalah Rumah sakit propinsi/kabupaten. Penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif ditinjau dari proses. Pada tahun 1996, IBI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwive (ACNM) dan rumah sakit swasta mengadakan Training of Trainer kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PPIBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan TOT dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek swasta. Pelatihan praktek dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih bidan praktek swasta secara swadaya, begitu juga guru/dosen dari D3 Kebidanan. 1995-1998, IBI bekerja sama langsung dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit, bidan Puskesmas dan bidan di desa di Propinsi Kalimantan Selatan.

Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal health (MNH) yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan tetapi juga guru, dosen-dosen dari Akademi Kebidanan. Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, utnuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan Lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan organisasi (Organization Development = OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak dua kali mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEP.

Tahun 2000 Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan tentang D-IV Kebidanan di FK UGM,FK UNPAD Tahun 2002 di FK USU. Tahun 2005 Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan tentang S2 Kebidanan di FK UNPAD.

http://www.unicef.org

http://bidanshop.blogspot.com/2010/01/sejarah-kebidanan-di-indonesia.html
50th IBI