BAB II
PEMBAHASAN
Eliminasi adalah
proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau alvi (buang air
besar). Kebutuhan eliminasi terdiri dari atas dua, yakni eliminasi urine
(kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air besar).
A.
Eliminasi Urine
Gangguan eliminasi
urine adalah kondisi ketika individu yang mengalami atau berisiko
mengalami disfungsi eliminasi urine. Gangguan
Eliminasi Urine mungkin merupakan diagnosis yang terlalu luas untuk
digunakan secara efektif di klinik. Oleh karena itu, perawat sebaiknya
menggunakan diagnosis yang lebih spesifik, seperti Inkontinensia Stres, jika memungkinkan, jika faktor penyebab atau
faktor penunjang inkontinensia belum teridentifikasi, untuk sementara perawat
dapat menuliskan diagnosis Gangguan
Eliminasi Urine yang berhubungan dengan etiologi yang tidak diketahui,
yang ditandai dengan inkontinensia.
Perawat
melakukan pengkajian fokus untuk menentukan apakah inkontinensia bersifat
sementara, yakni dalam merespons kondisi akut (mis., infeksi, efek samping
obat), atau ditetapkan dalam merespons berbagai kondisi persarafan atau
genitourinaria kronis (Miller, 1999). Selain itu, perawat harus membedakan
jenis-jenis inkontinensia: fungsional, stres, urgensi, atau total. Diagnosis
Inkontinensia Total tidak boleh digunakan kecuali seluruh jenis inkontinensia
lain telah disingkirkan.
Kesalahan Dalam Pernyataan Diagnostik
Kesalahan Dalam Pernyataan Diagnostik
Gangguan Eliminasi Urine yang berhubungan dengan diversi pembedahan
Diagnosis ini mewakili label baru untuk urostomi, dan tidak berfokus pada akontabilitas keperawatan. Pada klien urostomi perlu dilakukan pengkajian tentang pengaruh urostomi terhadap pola fungsional dan fungsi fisiologis. Bagi klien tersebut, masalah kolaborasi Komplikasi Potensial: Obstruksi stoma dan Komplikasi Potensial: Kebocoran urine internal, dan diagnosis keperawatan seperti Risiko Gangguan Citra Tubuh dan Risiko Gangguan Pemeliharnan Kesehatan, dapat diterapkan.
Diagnosis ini mewakili label baru untuk urostomi, dan tidak berfokus pada akontabilitas keperawatan. Pada klien urostomi perlu dilakukan pengkajian tentang pengaruh urostomi terhadap pola fungsional dan fungsi fisiologis. Bagi klien tersebut, masalah kolaborasi Komplikasi Potensial: Obstruksi stoma dan Komplikasi Potensial: Kebocoran urine internal, dan diagnosis keperawatan seperti Risiko Gangguan Citra Tubuh dan Risiko Gangguan Pemeliharnan Kesehatan, dapat diterapkan.
Gangguan Eliminasi Urine yang berhubungan dengan gagal ginjal.
Diagnosis ini merupakan nama pengganti untuk gagal ginjal dan tidak sesuai untuk dijadikan diagnosis keperawatan. Dengan demikian, diagnosis Kelebihan Volume Cairan yang berhubungan dengan gagal ginjal akut juga tidak tepat. Gagal ginjal menyebabkan munculnya berbagai diagnosis keperawatan, baik aktual maupun potensial, seperti Risiko lnfeksi dan Risiko Ketidakseimbangan Nutrisi, serta masalah kolaborasi, seperti Komplikasi Potensial: Ketidakseimbangan cairan elektrolit dan Komplikasi Potensial: Asidosis metabolik.
Diagnosis ini merupakan nama pengganti untuk gagal ginjal dan tidak sesuai untuk dijadikan diagnosis keperawatan. Dengan demikian, diagnosis Kelebihan Volume Cairan yang berhubungan dengan gagal ginjal akut juga tidak tepat. Gagal ginjal menyebabkan munculnya berbagai diagnosis keperawatan, baik aktual maupun potensial, seperti Risiko lnfeksi dan Risiko Ketidakseimbangan Nutrisi, serta masalah kolaborasi, seperti Komplikasi Potensial: Ketidakseimbangan cairan elektrolit dan Komplikasi Potensial: Asidosis metabolik.
B. Faktor-Faktor Yang
Memengaruhi Eliminasi
Ada
beberapa faktor yang memengaruhi eliminasi feses dan urine. Faktor tersebut
antara lain:
a. Usia
Usia
bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu
untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan torus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan
dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia Ian jut berisiko
mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan
kontrol otot sphincter sehingga terjadi inkontinensia.
b. Diet
Makanan
merupakan faktor utama yang berpengaruh pada eliminasi fekal dan urine. Makanan
berserat sangatlah diperlukan untuk pembentukan feses. Makanan yang rendah
serat menyebabkan pergerakan sisa digestif menjadi lambat mencapai rektum,
sehingga meningkatkan penyerapan air. Hal ini berakibat terjadinya konstipasi.
Makan yang teratur sangat berpengaruh pada keteraturan defekasi.
Di
samping itu, pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya,
misalnya jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi
karena kandungan pada jengkol, yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat
saluran kemih sehingga pengeluaran urine menjadi terganggu. Selain itu, urine
juga dapat Menjadi bau jengkol.
Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu, yang paling penting akibat malnutrisi terhadap eliminasi fekal dan urine adalah menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ perkemihan.
Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu, yang paling penting akibat malnutrisi terhadap eliminasi fekal dan urine adalah menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ perkemihan.
c.
Cairan
Intake cairan berpengaruh pada
eliminasi fekal dan urine. Bila intake cairan tidak adekuat atau output cairan
yang berlebihan, maka tubuh akan mengabsorbsi cairan dari usus besar dalam
jumlah besar. Hal tersebut menyebabkan feses menjadi keras, kering, dan sulit
melewati saluran pencernaan. Pada eliminasi urine, kurangnya intake cairan
menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk difiltrasi menjadi
berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat.
d.
Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang
untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik dari otot-otot abdominal,
otot pelvis, dan diafragma sangat penting bagi defekasi dan miksi. Latihan
fisik juga merangsang terhadap timbulnya peristaltik.
e.
Stres psikologi
Stres yang berlebihan akan
memengaruhi eliminasi fekal dan urine. Ketika seseorang mengalami kecemasan
atau ketakutan, terkadang ia akan mengalami diare ataupun beser. Namun, adapula
yang menyebabkan sulit buang air besar.
f.
Temperatur
Eliminasi dipengaruhi oleh
temperatur tubuh. Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan
cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan
tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi
dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memengaruhi
terhadap nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan
intake cairan.
Poin-poin pengkajian berikut ini berhubungan dengan berbagai aspek eliminasi urine. Perawat memilih poin yang sesuai dengan teknik tertentu yang akan dilaksanakan. Kaji pola frekuensi berkemih klien yang biasa. Tanyakan berapa kali rata-rata klien berkenmih setiap harinya.
Poin-poin pengkajian berikut ini berhubungan dengan berbagai aspek eliminasi urine. Perawat memilih poin yang sesuai dengan teknik tertentu yang akan dilaksanakan. Kaji pola frekuensi berkemih klien yang biasa. Tanyakan berapa kali rata-rata klien berkenmih setiap harinya.
C.
Organ yang
berperan dalam Eliminasi Urine
a. Ginjal
Merupakan organ retropenitoneal
(di belakang selaput perut) yang terdiri atas ginjal
sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Ginjal berperan sebagi pengatur
komposisi dan pertama kali pada waktu bangun tidur, sebelum tidur dan
berkisar waktu makan.
b. Volume
Volume urine yang dikeluarkan sangat bervariasi.
Usia Jumlah /
hari
- Hari pertama & kedua dari kehidupan
15 – 60 ml
- Hari ketiga – kesepuluh dari kehidupan
100 – 300 ml
- Hari kesepuluh – 2 bulan kehidupan 250
– 400 ml
- Dua bulan – 1 tahun kehidupan 400 –
500 ml
- 1 – 3 tahun 500 – 600 ml
- 3 – 5 tahun 600 – 700 ml
- 5 – 8 tahun 700 – 1000 ml
-
8 – 14 tahun 800 – 1400 ml
- 14 tahun – dewasa 1500 ml
- Dewasa tua 1500 ml / kurang
- Jika volume
dibawah 500 ml atau diatas 300 ml dalam periode 24
jam pada orang dewasa,
maka perlu lapor.
c.
Warna
Normal urine berwarna kekuning-kuningan, obat-obatan dapat
mengubah warna urine seperti orange gelap. Warna urine merah, kuning, coklat
merupakan indikasi adanya penyakit.
d.
Bau
Normal urine berbau aromatik yang memusingka. Bau yang
merupakan indikasi adanya masalah seperti infeksi atau mencerna
obat-obatan tertentu.
e. Berat jenis
Adalah berat atau derajat konsentrasi bahan (zat)
dibandingkan dengan suatu volume yang sama dari yang lain seperti air yang
disuling sebagai standar. Berat
jenis air suling adalah 1, 009 ml dan normal berat jenis : 1010 – 1025.
f. Kejernihan
Normal urine terang dan transparan. Urine dapat menjadi
keruh karena ada mukus atau pus. pH : Normal pH urine
sedikit asam (4,5 – 7,5). Urine yang telah melewati temperatur ruangan untuk
beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas bakteri Vegetarian urinennya
sedikit alkali.
g. Protein
Normal : molekul-molekul protein yang besar seperti :
albumin, fibrinogen, globulin, tidak tersaring melalui ginjal —- urine.
Pada keadaan kerusakan ginjal, molekul-molekul tersebut dapat tersaring urine,
adanya protein didalam urine disebut proteinuria, adanya albumin dalam urine
disebut albuminuria.
h. Darah
Darah dalam urine dapat tampak jelas atau dapat tidak
tampak jelas. Adanya darah dalam urine disebut hematuria.
i.
Glukosa
Normal adanya sejumlah glukosa dalam urine tidak berarti
bila hanya bersifat sementara, misalnya pada seseorang yang makan gula banyak
menetap pada pasien DM. Adanya gula dalam urine disebut glukosa
D.
Gangguan / Masalah Eliminasi Alvi
a. Konstipasi
Konstipasi merupakan keadaan individu yang mengalami atau
beresiko tinggi mengalami statis usus besar sehingga mengalami eliminasi yang
jarang atau keras, serta tinja yang keluar jadi terlalu kering dan keras.
b. Diare
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau
beresiko sering mengalami
pengeluaran
feses dalam bentuk cair. Diare sering disertai kejang usus, mungkin ada rasa mula dan muntah
c. Inkontinesia usus
Inkontinesia usus merupakan keadaan individu yang
mengalami perubahan kebiasaan
dari proses
defekasi normal, sehingga mengalami proses pengeluaran feses tidak disadari.
Hal ini juga disebut sebagai inkontinensia alvi yang merupakan hilangnya
kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui sphincter
akibat kerusakan sphincter.
d. Kembung
Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena
pengumpulan gas
berlebihan dalam lambung atau usus
e. Hemorroid
Hemorrhoid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di
daerah anus sebagai akibat
peningkatan
tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan karena konstipasi, peregangan saat
defekasi dan lain-lain
f. Fecal Impaction
Fecal impaction merupakann massa feses karena dilipatan
rektum yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi materi feses yang
berkepanjangan. Penyebab fecal impaction adalah asupan kurang, aktivitas
kurang, diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot.
E.
Faktor yang Memengaruhi Proses Defekasi
a. Usia
Setiap tahap perkembangan/usia memiliki kemampuan
mengontrol proses defekasi yang berbeda.
b.
Diet
Diet, pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat
memengaruhi proses defekasi.
Makanan yang
memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses percepatan defekasi dan
jumlah yang dikonsumsipun dapat memengaruhinya
c. Asupan cairan
Pemasukana cairan yang kurang dalam tubuh membuat defekasi
menjadi keras. Oleh karena itu,
proses absopsi air yang kurang menyebabkan kesulitan proses defekasi.
d. Aktivitas
Aktivitas dapat memengaruhi proses defekasi karena melalui
aktivitas tonus otot
abdomen, pelvis,
dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi
e. Pengobatan
Pengobatan juga dapat memengaruhinya proses defekasi,
seperti penggunaan laksantif,
atau antasida yang terlalu sering.
f.
Gaya hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat memengaruhi proses
defekasi. Hal ini dapat terlihat
pada seseorang
yang memiliki gaya hidup sehat/ kebiasaan melakukan buang air besar di tempat
yang bersih atau toilet, etika seseorang tersebut buang air besar di tempat
terbuka
atau tempat
kotor, maka akan mengalami kesulitan dalam proses defekasi.
g. Penyakit
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses defekasi,
biasanya penyakit-penyakit
tersebut
berhubungan langsung dengan system pencernaan, seperti gastroenteristis atau
penyakit infeksi lainnya.
h. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan / keinginan untuk
defekasi seperti nyeri pada kasus hemorrhoid atau episiotomi
i.
Kerusakan
sensoris dan motoris
Kerusakan pada system sensoris dan motoris dapat
memengaruhi proses defekasi karena
dapat
menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam melakukan defekasi.
F.
Tindakan Mengatasi Masalah Eliminasi
Alvi (Buang Air Besar)
a.
Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan
b.
Membantu pasien buang air besar dengan
pispot
c.
Memberikan huknah rendah
d.
Memberikan huknah tinggi
e.
Memberikan gliserin
f.
Mengeluarkan feses dengan jari
G.
Diagnosis yang berhubungan dengan eliminasi:
a. Bowel incontinence (p. 22) atau
inkontinensia alvi/faeces. Perubahan pola kebiasaan defekasi. Bisa
diakibatkan oleh diare kronis, pola makan, immobilisasi, stres, pengobatan,
kurang kebersihan pada saat toileting, dll. Bedakan dengan diagnosis “Diare”.
Pada diagnosis ini, faeces biasa, hanya polanya saja yang berubah. Misalnya
rutin sehari sekali, karena faktor-faktor yang berhubungan, menjadi dua atau
tiga hari sekali.
b. Diarrhea (p. 71) atau diare. Data
utamanya adalah faeces tidak berbentuk sampai dengan cair. Indokator utamanya
adalah buang air besar (cair) minimal tiga kali dalam satu hari. Hasil
auskultasi abdomen, kram perut dan nyeri perut merupakan tanda-gejala yang
lainnya. Faktor yang berhubungan dibagi menjadi tiga kelompok; fisiologis,
psikologis dan situasional. Misalnya karena kecemasan, tingkat stres tinggi,
proses peradangan, iritasi, malabsorpsi, keracunan, perjalanan jauh, konsumsi
alkohol dan pengaruh radiasi.
c. Impaired urinary elimination (p.
234) atau gangguan eliminasi urin. Karakteristiknya: disuria, frekuensi buang
air kecil meningkat, hesitansi, inkontinensia, nokturia. Di NANDA memang agak
sedikit rancu. Salah satu karakteristik yang disebutkan untuk diagnosis ini
adalah “retention”. Padahal sudah ada diagnosis “Retensi urine”. Sehingga
disarankan kalau pasien memang mengalami retensi urin, langsung diangkat saja
menjadi diagnosis “Retensi urin”. Untuk mengangkat diagnosis keperawatan
“Gangguan eliminasi urin”, perlu dijelaskan gangguan yang mana. Jika pasien
mengeluh sering terbangun untuk kencing di malam hari, maka bisa diambil
“Gangguan eliminasi urin: nokturia”. Jika pasien beser (buang air kecil tidak
terkontrol dan terus menerus), bisa diangkat menjadi “Gangguan eliminasi urin:
inkontinensia”. Dan seterusnya, sesuai data yang diperoleh dari
pengkajian.
d. Readiness for enhanced urinary
elimination (p. 235) atau potensial peningkatan eliminasi urine (diagnosis sejahtera).
e. Urinary retention (p. 236) atau
retensi urin. Tidak dapat mengosongkan urin secara lampias. Karakteristiknya:
palpasi blader terasa tegang, sakit saat buang air kecil, sampai dengan tidak
keluarnya urin sama sekali. Faktor yang berhubungan: kekuatan spincter, tekanan
tinggi pada uretral dan adanya hambatan (harus dibuktikan dengan adanya hasil
pemeriksaan).
f. Constipation (p. 44) atau konstipasi
g. Perceived constipation (p. 46) atau
perkiraan konstipasi (klien mendiagnosis dirinya sendiri menderita konstipasi,
biasanya faktor yang berhubungan adalah kepercayaan budaya, kepercayaan
keluarga, pemahaman yang salah atau gangguan proses pikir)
h. Risk for constipation (p. 47) atau
resiko konstipasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar